Tadi saya sempat mengunggah foto ke media sosial. Dengan lokasi di salah satu kota di Jawa Timur. Salah seorang warganet memprotes. “Kerja, hei. Masih liburan?”
Hehehe. Iya. Masih cuti sampai hari Jumat pekan ini. Sampai Jumat itu pula masih akan di Jawa Timur. Jadi supir AKAP: antar kota dan antar provinsi. Nyambangi keluarga besar yang tersebar di beberapa wilayah.
Saya selalu menikmati jadi supir AKAP. Mengemudikan mobil di dalam kota, apalagi di Cimahi dan Bandung, itu tidak menarik. Macet. Padat. Sumpek. Mepet-mepetan dengan pengendara motor.
Kalau hanya mepet-mepetan masih mending. Kalau pengendara motor itu menyalip di tikungan, ini yang mengesalkan. Apalagi kalau kita — pengemudi mobil — juga sedang berbelok.
Apalagi kalau arah berbelok motor dan mobil ini sama — misalnya, sama-sama belok kiri. Apalagi kalau motor ini menyalip dari sebelah kiri. Asumsi saya, pengendara motor itu pasti belum pernah mengemudikan mobil. Dia tidak tahu kalau:
- motornya tepat berada di sebelah mobil, dan
- ia menyalip dari sisi yang sama dengan arah mobil berbelok, dan
- pengemudi mobil tak menyadari ada motor di sebelahnya,
maka ia berpotensi tinggi terserempet mobil dan jatuh.
Kalau begitu kejadiannya, pasti pengemudi mobil yang disalahkan.
Biasanya kalau terjadi pada saya ketika saya sedang mengemudikan mobil, saya akan menyalakan klakson. Keras. Lama. Sambil melampiaskan kesal. Biasanya, kesalnya jadi reda sesudah suara klaksonnya berhenti.
Lain kejadiannya sore tadi. Kesalnya tak kunjung berhenti. Malah semakin emosi.
Si pengendara motor tadi anak muda. Berboncengan dengan anak muda lainnya. Dua-duanya tak mengenakan helm.
Sesudah diklakson panjang seperti tadi sang pengendara tak menunjukkan penyesalan. Atau setidaknya keterkejutan. Tetap anteng berkendara. Ndilalah hanya berjarak beberapa meter di depan, di perempatan jalan, ia enak saja melaju ke barat, tanpa peduli dari selatan juga ada motor yang sedang melaju.
Suara klakson di perempatan itu terdengar lagi. Dari motor yang dipotong jalannya itu.
Tapi toh si pengendara tetap saja anteng, tak (menunjukkan kalau) merasa bersalah. Tidak, misalnya melambatkan laju motornya. Atau misalnya menoleh ke belakang.
Emosi saya semakin tinggi. Saya pacu mobil untuk mengejar motor itu. Niatnya, mau saya dekati motor itu, lalu saya buka jendela kiri, sambil berteriak, “Woi!”
Jarak sudah sedikit lagi, tiba-tiba motor itu menepi dan berhenti. Sudah sampai tujuan.
Sementara kendaraan sudah terlanjur dipacu. Ya sudah, akhirnya dilewati saja motor itu. Sambil ngedumel di dalam mobil.
Tante saya di kursi belakang kemudian berujar, “kok bisa ya, yang seperti itu dapat SIM.”
Iya juga. Kok bisa yang seperti itu dapat SIM C — kalau memang anak muda tadi punya SIM C.
Tapi sesudah mengingat bagaimana ujian SIM C yang saya alami, saya jadi menyimpulkan: justru, mungkin ujian SIM C kita yang salah. Justru mungkin pengendara seperti tadi itu yang harus lulus.
Anda masih ingat bagaimana uji praktek ketika mengambil SIM C?
Saya sih ingat. Salah satu ujiannya adalah bermanuver dengan motor secara zig-zag di antara kerucut-kerucut lalu lintas berwarna oranye yang berjajar.
Apa diperlukan manuver seperti itu di jalan raya?
Tentu diperlukan. Sewaktu-waktu. Misalnya, kalau tiba-tiba harus menghindari kucing yang menyeberang jalan, atau menghindari lubang di jalan.
Tapi apa diperlukan terus-terusan? Ya tidak juga.
Menurut saya uji praktek SIM C itu harusnya peserta ujian dibawa ke jalan raya. Disuruh mengemudi. Langsung. Mengikuti rute tertentu. Diikuti polisi bermotor dari belakang.
Diperhatikan perilakunya: Apakah ia memastikan klip helmnya terpasang baik sebelum berkendara. Apakah ia memeriksa motornya: tekanan angin, lampu-lampu, sebelum berkendara.
Bagaimana ia mematuhi rambu lalu lintas. Misal, ketika berhenti di perempatan jalan, apakah si pengendara melewati garis batas. Apakah pengendara patuh pada garis tegas pemisah jalan dengan tidak melewatinya.
Yang paling penting: apakah manuver menyalipnya berbahaya.
Sesudah itu baru diizinkan dapat SIM C.
Tes seperti itu menurut saya lebih berfaedah daripada tes bermanuver zig-zag.
Yang ujung-ujungnya, jika tidak lulus, bisa ada oknum yang menawari: mau dibantu?