“Apa Obsesimu di JTK?”

Update terakhir pada 2 Oktober 2016, dengan mengupayakan tidak ada perubahan sudut pandang waktu tulisan ini.

Setidaknya sudah tiga kali selama berada di Jurusan Teknik Komputer dan Informatika (JTK) Politeknik Negeri Bandung saya diminta untuk menuliskan mengenai hal yang satu ini: obsesi. Pertama, ketika saya mewawancarai kak Mita Kania Dewi; kedua, ketika mewawancarai kang Rahmat Zulfikri; ketiga, ketika diminta oleh kak Trisna Ari Roshinta.

Apa pula makhluk bernama obsesi ini? KBBI edisi keempat mendefinisikan kata obsesisebagai berikut (setelah di edisi sebelumnya, sebagaimana diungkap oleh dosen saya, KBBI sempat memaknai kata ini hanya dari sudut pandang psikologi dan berkonotasi negatif):

obsesi /ob-sé-si/

1. n ide atau perasaan yang sangat merasuki pikiranmencari jalan ke Kepulauan Nusantara merupakan ~ bagi orang Eropa pada abad ke-15

2. n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan:

(Emphasis mine.)

Dan memang, bagi saya obsesi ini menjadi penting keberadaannya. Menjadi pembeda antara “hidup yang sesungguhnya” dengan “hidup yang sekadar hidup”.

Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja.

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)
Lanjutkan membaca “Apa Obsesimu di JTK?”

Repositori Lokal Linux Mint 17 Qiana

Hal yang saya lakukan ketika baru melakukan instalasi Ubuntu (dan turunannya, seperti Linux Mint yang saya gunakan sekarang) adalah mengganti sumber repositori yang digunakan ke mirror-mirror yang ada di Indonesia (seperti Kambing UI, atau FTP ITB, dan mirror lainnya). Ketika saya sempat mencoba Ubuntu 14.04 LTS beberapa waktu lalu, saya menggunakan mirror ITB.

Ketika saat ini saya menggunakan Linux Mint 17 Qiana, saya menemukan bahwa ITB tidak melakukan mirror terhadap repositori Linux Mint. Hasil Google-ing singkat menunjukkan bahwa Kambing UI dan repositori UKDW-lah yang melakukan mirror terhadap repositori Linux Mint.

Sehingga, saya membuka Terminal dan mengetikkan …

sudo nano /etc/apt/sources.list

Tapi ternyata, hal ini yang saya temui:

Lho, ke mana puluhan baris yang biasa saya temui di /etc/apt/sources.list milik Ubuntu itu?

Lanjutkan membaca Repositori Lokal Linux Mint 17 Qiana

Touchpad Indicator Untuk Ubuntu (dan Linux Mint)

Saya menggunakan Linux Mint 17 Qiana di laptop saya (yang berbasis Ubuntu 14.04 LTS). Penggunaan saya sehari-hari dengan laptop ini lebih dominan menggunakan mouse eksternal dibandingkan dengan touchpad dan trackpad-nya (saya pakai Lenovo ThinkPad E440). Sehingga, akan nyaman bagi saya untuk dapat mematikan touchpad-nya ketika saya menggunakan mouse eksternal — apalagi di keyboard laptop ini tidak ada switch untuk mematikan touchpad-nya.

Untuk keperluan ini, saya menggunakan touchpad-indicator:

sudo add-apt-repository ppa:atareao/atareao
sudo apt-get update
sudo apt-get install touchpad-indicator

Selanjutnya, aplikasi ini di-launch untuk pertama kalinya dari launcher.

Lanjutkan membaca Touchpad Indicator Untuk Ubuntu (dan Linux Mint)

“Ngoprek” Linux Mint 17

Beberapa minggu yang lalu saya ikut kegiatan Share-ing IT dari Departemen Pendidikan Himpunan Mahasiswa Komputer Politeknik Negeri Bandung. Dari sana, saya keplincut(apa ya? Bahasa Sundanya kabita) untuk pakai lagi OS berbasis Linux di laptop saya setelah terakhir kali bermain dengan Linux kira-kira tahun 2009–2011-an.

Yang terlintas di kepala saya saat itu adalah Ubuntu 14.04 LTS. Setelah mencoba, ternyata Unity (yang dulu waktu awal kemunculannya — saya ingat betul — sempat menjadi ‘polemik’ dan banyak teman-teman saya pengguna Ubuntu yang kemudian beralih ke distro lain karenanya) masih terasa berat bagi saya. Akhirnya saya pindah ke Linux Mint 17.

Kalau kata kang Pajri Aprilio, “Hitung-hitung mengurangi dosa pakai OS bajakan.” Hehehe. OS Windows saya alhamdulillah lisensinya original. (Cara mendapatkan lisensinya itulah yang halal-halal-haram. Hehehe.)

Mudah-mudahan istiqamah. Diniatkan juga buat belajar. 🙂