Asynchronous dengan “await” dan “async” pada C#

Dulu, saat saya sering membuat halaman-halaman web sederhana, saya beberapa kali memanfaatkan asynchronous programming untuk beberapa keperluan. Secara sederhana, asynchronous programming adalah teknik di mana suatu fungsi berjalan dengan thread yang berbeda dengan thread utama, sehingga bisa menjalankan dua atau lebih fungsi dalam waktu yang bersamaan.

Sebagai contoh, jika saya memiliki fungsi getData() yang berfungsi mengambil data siswa dari http://mhs.polban.ac.id/ misalnya, maka waktu prosesnya akan bervariasi pada berbagai kondisi. Jika kondisinya stabil (baik pada client maupun pada server) maka delay yang dirasakan mungkin tidak signifikan.

Namun, bagaimana jika kondisinya tidak stabil?

Lanjutkan membaca Asynchronous dengan “await” dan “async” pada C#

Universal Apps, Write-Once-(Almost)-Run-Everywhere

Seumur-umur membuat software (kecil-kecilan), saya baru tahu beberapa waktu terakhir kalau di ekosistem Windows Apps saat ini ada konsep Universal Apps. Pertama kali mendengar istilah ini, saya pikir dengan Universal Apps kita dapat membuat suatu aplikasi Windows Apps dan aplikasi yang sama juga berjalan di Windows Phone.

Well, setelah baca-baca di berbagai sumber (terutama MSDN), asumsi saya ternyata “benar” untuk Windows 10. (Yeay! Write once, run everywhere!) Apalagi santer dibicarakan di berbagai rilis-rilis yang kita baca kalau Windows 10 ini memang akan jadi one OS to rule them all. Di Windows 10, ada suatu konsep bernama Universal Windows Platform yang intinya setiap device yang berbeda (desktop, mobile, …, bahkan Xbox) memiliki implementasi Windows Core yang sama, sehingga aplikasi yang dikembangkan dapat memanfaatkan core tersebut untuk mampu berjalan di berbagai device.

Nah, bagaimana untuk adiknya, Windows 8.1?

Lanjutkan membaca Universal Apps, Write-Once-(Almost)-Run-Everywhere

“Apa Obsesimu di JTK?”

Update terakhir pada 2 Oktober 2016, dengan mengupayakan tidak ada perubahan sudut pandang waktu tulisan ini.

Setidaknya sudah tiga kali selama berada di Jurusan Teknik Komputer dan Informatika (JTK) Politeknik Negeri Bandung saya diminta untuk menuliskan mengenai hal yang satu ini: obsesi. Pertama, ketika saya mewawancarai kak Mita Kania Dewi; kedua, ketika mewawancarai kang Rahmat Zulfikri; ketiga, ketika diminta oleh kak Trisna Ari Roshinta.

Apa pula makhluk bernama obsesi ini? KBBI edisi keempat mendefinisikan kata obsesisebagai berikut (setelah di edisi sebelumnya, sebagaimana diungkap oleh dosen saya, KBBI sempat memaknai kata ini hanya dari sudut pandang psikologi dan berkonotasi negatif):

obsesi /ob-sé-si/

1. n ide atau perasaan yang sangat merasuki pikiranmencari jalan ke Kepulauan Nusantara merupakan ~ bagi orang Eropa pada abad ke-15

2. n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan:

(Emphasis mine.)

Dan memang, bagi saya obsesi ini menjadi penting keberadaannya. Menjadi pembeda antara “hidup yang sesungguhnya” dengan “hidup yang sekadar hidup”.

Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja.

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)
Lanjutkan membaca “Apa Obsesimu di JTK?”

Repositori Lokal Linux Mint 17 Qiana

Hal yang saya lakukan ketika baru melakukan instalasi Ubuntu (dan turunannya, seperti Linux Mint yang saya gunakan sekarang) adalah mengganti sumber repositori yang digunakan ke mirror-mirror yang ada di Indonesia (seperti Kambing UI, atau FTP ITB, dan mirror lainnya). Ketika saya sempat mencoba Ubuntu 14.04 LTS beberapa waktu lalu, saya menggunakan mirror ITB.

Ketika saat ini saya menggunakan Linux Mint 17 Qiana, saya menemukan bahwa ITB tidak melakukan mirror terhadap repositori Linux Mint. Hasil Google-ing singkat menunjukkan bahwa Kambing UI dan repositori UKDW-lah yang melakukan mirror terhadap repositori Linux Mint.

Sehingga, saya membuka Terminal dan mengetikkan …

sudo nano /etc/apt/sources.list

Tapi ternyata, hal ini yang saya temui:

Lho, ke mana puluhan baris yang biasa saya temui di /etc/apt/sources.list milik Ubuntu itu?

Lanjutkan membaca Repositori Lokal Linux Mint 17 Qiana

Touchpad Indicator Untuk Ubuntu (dan Linux Mint)

Saya menggunakan Linux Mint 17 Qiana di laptop saya (yang berbasis Ubuntu 14.04 LTS). Penggunaan saya sehari-hari dengan laptop ini lebih dominan menggunakan mouse eksternal dibandingkan dengan touchpad dan trackpad-nya (saya pakai Lenovo ThinkPad E440). Sehingga, akan nyaman bagi saya untuk dapat mematikan touchpad-nya ketika saya menggunakan mouse eksternal — apalagi di keyboard laptop ini tidak ada switch untuk mematikan touchpad-nya.

Untuk keperluan ini, saya menggunakan touchpad-indicator:

sudo add-apt-repository ppa:atareao/atareao
sudo apt-get update
sudo apt-get install touchpad-indicator

Selanjutnya, aplikasi ini di-launch untuk pertama kalinya dari launcher.

Lanjutkan membaca Touchpad Indicator Untuk Ubuntu (dan Linux Mint)

“Ngoprek” Linux Mint 17

Beberapa minggu yang lalu saya ikut kegiatan Share-ing IT dari Departemen Pendidikan Himpunan Mahasiswa Komputer Politeknik Negeri Bandung. Dari sana, saya keplincut(apa ya? Bahasa Sundanya kabita) untuk pakai lagi OS berbasis Linux di laptop saya setelah terakhir kali bermain dengan Linux kira-kira tahun 2009–2011-an.

Yang terlintas di kepala saya saat itu adalah Ubuntu 14.04 LTS. Setelah mencoba, ternyata Unity (yang dulu waktu awal kemunculannya — saya ingat betul — sempat menjadi ‘polemik’ dan banyak teman-teman saya pengguna Ubuntu yang kemudian beralih ke distro lain karenanya) masih terasa berat bagi saya. Akhirnya saya pindah ke Linux Mint 17.

Kalau kata kang Pajri Aprilio, “Hitung-hitung mengurangi dosa pakai OS bajakan.” Hehehe. OS Windows saya alhamdulillah lisensinya original. (Cara mendapatkan lisensinya itulah yang halal-halal-haram. Hehehe.)

Mudah-mudahan istiqamah. Diniatkan juga buat belajar. 🙂

HTML Sederhana Karya Anggota ICT Club

Saya sempat memberikan sedikit tambahan materi ketika kegiatan ICT Club – SMP Negeri 2 Bandung tanggal 12 September 2014. Kala itu, materinya mengenai HTML, dan pemateri utamanya adalah Aulia Rahman A. Wahyudi dari kelas VIII.

Saat itu saya sempat memberikan tugas serta “mengiming-imingi” bahwa hasil karya mereka akan dipajang di blog saya. Tapi sudah satu bulan lebih berlalu, karya yang masuk belum juga sempat saya unggah ke blog. (Padahal kerjaan lain terkejar semua … dan mengunggah ini hanya butuh sekian menit. Aduh, maafkan.)

Saya pajang hasil karya HTML sederhana dari adik-adik saya di sana:

  1. Fadly Fahrezi, kelas VIII. Klik di sini untuk membuka karyanya.
  2. Firyal Dhiya, kelas VII-D, dan Moza, kelas VII-C. Klik di sini untuk membuka karyanya.
  3. M. Reynaldy T., kelas VIII-A, dan M. Dika Nugroho, kelas VIII-C. Klik di sini untuk membuka karyanya.

Saya berterima kasih atas ekspresi karya yang sudah dikirimkan di atas. Harapannya, dari pembelajaran sederhana tentang HTML itu, ada sedikit insight mengenai bagaimana suatu informasi di laman web dapat ditampilkan kepada pengguna.

Google Indonesia “hacked”?

Google Indonesia di-“hack”

Sambil menunggu keluarga di rumah bersiap untuk berangkat shalat Idul Adha, saya membuka laptop untuk browsing, sekadar mampir di Facebook, Twitter, Quora, dan beberapa media sosial lainnya. Entah apa yang saya kerjakan hingga kemudian saya membuka tab baru dan mencoba mengakses Google Indonesia.

Dan, tampilan di atas yang saya temui.

Wait, what? Sekelas Google Indonesia pun kena retas juga?

Lanjutkan membaca Google Indonesia “hacked”?

Sahabat pena

Sahabat pena.

Dulu, waktu saya masih SD, saya pernah membaca istilah ini. (Kalau tidak salah dari majalah Bobo. Ya Tuhan, berkahilah para redaktur majalah Bobo atas pengetahuan yang mereka beri pada kami generasi 90-an ini.)

Sahabat pena. Sejak saya memasuki dunia SMP hingga sekarang berstatus pengangguran alumni SMA ini, saya benar-benar tak pernah mendengar lagi istilah “sahabat pena”. Persis ketika saya mulai mengenal Friendster dan Facebook pada masa itu, dan saat saya mulai mengenal WordPress waktu kelas 4 SD dulu.

Saya sendiri tidak pernah memiliki sahabat pena, tidak pernah berkirim surat sebelumnya. Saya lebih dahulu mengenal GMail versi beta (yang dulu invitation-only dan undangannya saya dapat dari mahasiswi yang PKL di kantor ayah). Saya lebih dahulu mengirim surat elektronik daripada surat yang ditulistangan sendiri.

Makanya, ketika adik kelas saya di SMA, Yume, mengirimkan ide berikut ini di grup salah satu komunitas penulis, saya langsung excited untuk mengikutsertakan diri …

Lanjutkan membaca Sahabat pena

Fiction Competition di Gomu-gomu no Matsuri IV: Neko Matsuri

Beberapa waktu lalu, saya diminta oleh panitia Gomu-gomu no Matsuri IV: Neko Matsuriuntuk jadi juri di Fiction Competition mereka. Gomu-gomu no Matsuri sendiri adalah event tahunannya ekstrakurikuler Ni Nihon-go no Kurabu di SMA Negeri 2 Bandung.

Kompetisinya sederhana: buatlah sebuah cerpen dengan tema matsuri (festival) atau neko (kucing). Dengan persyaratan yang sederhana, akhirnya ada enam orang yang menyelesaikan naskahnya dari delapan orang yang mendaftarkan diri. Penjuriannya sendiri enjoyable bagi saya dan merupakan pengalaman pertama saya menjadi juri di kompetisi terbuka 🙂

Lanjutkan membaca Fiction Competition di Gomu-gomu no Matsuri IV: Neko Matsuri